Seperti kebanyakan anak muda zaman sekarang, malam minggu biasa dihabiskan diluar rumah. Ada yang ngapel bareng pacar ada pula yang nongkrong bareng kawan. Berhubung gue ini jomblo, jadi pilihan yang bisa gue ambil cuma nongkrong bareng kawan aja.

Sebenernya malam ini gue males banget untuk keluar rumah, rencananya sih mau ngeblog. Ternyata pada jam 18.45 mereka (Pandu, Kuncoro, Tebek, Wens, dan Arip) pada ajakin buat kumpul, niatnya sih pengen ngopi-ngopi. Setelah udah selesai menyusun strategi (ya kali mau apaan), akhirnya udah disepakati untuk menuju ke rumah si Tebek yang berada diperbatasan kota-kabupaten (cuma 300 meter kayanya). Gue yang udah terlanjur mager minta tolong dijemput oleh si Wens ini yang berada dikecamatan seberang. Setelah Wens tiba dirumah gue, akhirnya gue pun langsung berganti pakaian (stel ganteng dulu, kali aja ada yang naksir). Diperjalanan tidak ada hal mengagumkan kecuali melihat kumpulan dua sejoli yang sedang memadu kasih (need medic!!). Setelah kenyang melihat pasangan remaja tanpa disadari ternyata kami sudah sampai dirumahnya Tebek (sempat muter-muter sih, soalnya ada penutupan jalan) dan disana sudah ada Arip, Coro, dan Pandu.
Sesampainya disana, kami pun masih bingung mau ngapain. Sambil mencari ide untuk rencana selanjutnya, kami mulai bernyanyi diiringi oleh Pandu yang memetik gitarnya serta gue yang memukul-mukul
perut kursi. Konsentrasi gue terpecah antara mengiringi lagu atau menonton anime Naruto yang sedang ditonton oleh Arip, akhirnya gue masuk ke blok kanan yang sedang menonton anime (walaupun gue udah nonton tetep aja seru). Disaat yang riuh begini, Wens masih saja menatap layar ponselnya (hanya dia yang gak jomblo diantara kami, maklumlah). Gue yang gak bisa berdiam diri ditempat baru dalam waktu lama mulai merasa jenuh.
Gue nyeletuk "Coeg, arep nang di iki? (mau kemana ini?)".
"Bas
reng, gue mah ayo aja" kata si Coro
Tebek mulai beropini, "Bandrek meneh piye?"
"Bosen guwaa" jawab Pandu
"Apa mau ke Lapangan Samber aja, mumpung ada acara disana" kata Arip
"Bosen coeg, ora gregeeet" jawab gue
Wens yang sedari tadi menatap layar ponsel langsung bicara "Piye piye" (walah, maksute iki -,-)

Entah siapa yang berkata tiba-tiba "Gimana kalo makan Pempek deket SMP X?" . "Oke juga tuh" kata Wens. Langsung saja kami beres-beres dan tancap gas menuju SMP X. Disana rupanya lumayan ramai. Ada yang pacaran, sendirian, bahkan sekeluarga (keluarga kecil) datang untuk makan pempek disana. "Kayanya lumayan terkenal nih tempatnya" gumam gue (padahal gak terlalu jauh dari rumah gue, kok gue gak tau ya). Setelah memarkir motor ditepi jalan langsung saja kami serbu gerobak dagangannya. Saat pempeknya barusan diangkat dari penggorengan, kami sudah menyiapkan garpu sebagai senjata untuk saling berebut pempek .___. . Dari hasil pertarungan garpu yang cukup sengit, ternyata gue cuma dapat 4 potong pempek. Karena males untuk nunggu selesai digorengnya, cukup 4 saja dan gue tambahkan cuka pada pempek yang gue dapati ini. Karena tempatnya yang berada ditepi jalan, kami pun duduk didekat motor hanya bersinarkan cahaya rembulan.
Selepas menyantap pempek dan membayarnya kami kembali untuk merencanakan kegiatan selanjutnya.
"Bro, mau ekspedisi gak?" tanya Pandu pada kami
"Weh, mantep tuh. Ke SMK G aja yok, seru tuh gelap gulita" tambah Tebek
"Gimana, mau gak?" tanya Pandu lagi
"Oke, let's go!" jawab kami
Langsung saja kami kembali ke rumah Tebek untuk menaruh motor dan melanjutkan ekspedisi kedaerah tujuan mereka dengan berjalan kaki. Setelah meninggalkan rumah dan berjalan beberapa meter, kami menjumpai pematang sawah.
Gue gak yakin dan bertanya "Apa ada jalanan disini? jalan buntu deh kayanya"
Dengan semangat Tebek dan Pandu berkata "Gasak aja"
Bayangin aja, sekitar jam 21.10 hanya ber5 ditengah sawah sendirian,, berasa kaya lagi uji nyali.
Pada awal perjalanan memasuki dunia persawahan digelap malam tidak ada hal aneh yang terjadi, akan tetapi pada saat ditengah perjalanan kami melihat sebuah sepeda motor yang terparkir dipinggir irigasi (bukan setan kok yang bawa motornya, cuma petani yang ngecek sawahnya). Perjalanan disawah ini nampaknya gak terlalu buruk juga menurut gue, tapi kaki gue ternyata lecet karena pake sandal yang gak cocok buat medan yang dilalui -,-
Setelah melalui persawahan, kami akhirnya menjumpai perkampungan diseberang sisi lain dari sawah. Gue kira kita bakalan balik kerumah Tebek melalui jalan aspal sehingga gue bisa 'nyeker' karena kaki gue udah sakit banget, eh ternyata malah mereka milih lewat sisi lain sawah lagi -_-. Dengan jalan pincang gue kembali menelusuri sawah lagi.

Ternyata perjalanan balik ini gak semulus waktu kami berangkat, medan yang dilalui ternyata lebih ekstrim dari sebelumnya. Bahkan berulang kali kami hampir terpeleset kecebur ke sawah. Akhirnya kami sampai dimedan yang sangat sulit bahkan menegangkan. Dimedan kali ini kami menjumpai ular weling/welang (agak lupa gue dengan warnanya) dipinggir pijakan kaki kami. Hal ini disadari pertama kali oleh Coro yang menyorot daerah disekitar sawah dan memberitahu kami agar berhati-hati. Naasnya gue kebagian giliran terakhir untuk melewati ular tersebut. Gue pun bergerak perlahan menghindarinya sembari memberitahu mereka yang ada didepan gue supaya terus bergerak tetapi entah mengapa mereka kok malah diam aja. Gue pun semakin tegang saat ular tersebut bergerak dan gue mulai panik saat ular tersebut bergerak mendekati gue. Gue akhirnya melompat ketengah sawah karena mereka gak bergerak maju (sialan mereka malah ngerjain gue -,-).
Gue yang pada saat itu pake jeans warna hitam akhirnya berubah menjadi warna coklat serta sendal gue yang masuk kelumpur sawah. Ternyata bukan hanya gue yang masuk sawah, Wens pun ikut masuk sawah karena ketarik oleh gue (sorry broh), sendalnya pun ikut hilang ditelan lumpur. Setelah gue memastikan ular itu sudah gak ada, akhirnya gue kembali untuk mengambil sendal yang masih tertinggal disawah. Wens pun ikut untuk mengambil sendalnya. Nasib baik sendal kami berdua dapat kembali walaupun bentuknya sudah gak karuan akibat lumpur. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah Tebek.
Selang beberapa menit akhirnya kami berhasil mencapai batas persawahan dan terlihat didepan ada Mushola. Di Mushola kami membersihkan diri dari lumpur sedangkan gue lebih parah karena musti membersihkan celana dan sandal yang udah gak karuan lagi. Arloji sudah menunjukkan pukul 22.30 tak selang beberapa lama bapak gue pun menelepon agar segera pulang (kami anak rumahan kaka'). Malam minggu ini gue mendapatkan oleh-oleh yaitu lumpur serta aromanya yang menghapus parfum serta menyelimuti tubuh gue.